Kamis, 17 Maret 2011

Presiden Juga Manusia...

Manusia dan Penderitaan

Presiden juga manusia, sama seperti kita. Dia bisa merasakan kesakitan, kelaparan, kekenyangan, kesenangan, kebahagiaan, maupun kesedihan. Semua serba manusiawi. Bila dia tak memiliki sifat-sifat kemanusiawian tersebut, berarti presiden bukan manusia. Lantas kenapa presiden bisa menjadi begitu istimewa, hingga menjadi incaran orang untuk mencapai posisi puncak tersebut? Keistimewaan yang diterima presiden berasal dari manusia itu sendiri, yaitu kita sendiri.

Manusia terlalu banyak memberikan keistimewaan bagi seorang presiden. Contohnya, seorang presiden tidak boleh mengalami kemacetan di tengah jalan raya, karena akan menghambat tugas negara. Seorang presiden juga harus dikawal kemanapun ia pergi agar keselamatannya terjamin dan terjaga. Jadi tak heranlah jika presiden selalu dikelilingi oleh pengawal-pengawalnya yang setia dan berani mati. Bahkan presiden juga tak boleh bersesak-sesakan di kereta, bis, maupun sarana transportasi massal lainnya. Keistimewaan lainnya tentu masih banyak lagi.

Kalau presiden ingin menggunakan angkutan-angkutan massal tadi maka para pendampingnya harus menyediakan angkutan massal yang dikhususkan untuk presiden, keluarganya, ajudan-ajudannya, dan para pembantunya. Dia tak boleh dicampur dengan manusia-manusia biasa lainnya, karena menyangkut keselamatan nyawa presiden.

Sayangnya, semua keistimewaan itu membuat seorang presiden kehilangan empati terhadap permasalahan dan penderitaan yang terjadi dalam masyarakat manusia lainnya. Bilapun rasa empati itu ada namun hanya sebatas keprihatinan atau yang biasa disebut rasa simpati, belum mencapai tahap empati tadi, karena presiden tak merasakan langsung penderitaan itu. Misalnya, seorang presiden turutprihatin dengan kemacetan yang terjadi setiap hari, namun dia tak turut merasakan bagaimana susahnya berada dalam kemacetan itu, apalagi kemacetan itu selalu dialami setiap saat oleh manusia lainnya dan berlangsung selama berjam-jam.

Andai presiden turut berada dalam kemacetan itu setiap dia berangkat tugas, tentu dia akan segera berempati, dan langsung mencari solusi untuk mengatasi kemacetan tersebut agar tak terjadi terus-menerus. Demikian pula jika presiden diajak naik kereta setiap pagi, mulai dari pinggiran kota hingga ke pusat kota, tempat dia bertugas. Sudah barang tentu, presiden akan berempati dengan kondisi yang dihadapi manusia lainnya dalam gerbong kereta itu, dan langsung merasakan betapa tidak enaknya terjepit di antara kepadatan manusia lainnya dalam gerbong tersebut. Presiden pun secara bijaksana dan arif akan langsung mencari solusi dan menitahkan menteri perhubungan dan transportasinya untuk membuat kereta itu menjadi angkutan yang lebih manusiawi, aman, dan nyaman bagi manusia lainnya.

Sayangnya, semua solusi itu tak akan pernah terwujud karena seorang presiden tak pernah merasakan kesusahan itu semua, kesusahan di jalan raya karena macet, maupun kesusahan dalam kereta dan terjepit di antara padatnya manusia. Itu baru segelintir permasalahan yang kerap terjadi dalam kehidupan manusia lainnya. Dan ini bukan salah presiden, ini salah kita. Kita terlalu banyak memberikan keistimewaan bagi seorang presiden, dengan alasan demi keselamatannya, hingga tercipta aturan protokoler yang terkadang malah menyusahkan manusia lainnya, dan (barangkali) presiden juga tidak suka diberi keistimewaan itu, karena presiden juga manusia.

sumber

http://sosbud.kompasiana.com/2010/07/19/presiden-juga-manusia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar