Kamis, 17 Maret 2011

Pasar Tradisional Butuh Perlakuan Sama

Manusia dan Kegelisahan

1299134559972011283

pasar tradisional harus dijaga keberlangsungan hidupnya.Gambar : Google

Saat ini pasar tradisional berada dalam ketidakpastian,Kondisi ini menambah beban pelaku pasar tradisional yang kian hari harus siap dengan invasi pasar modern. Bisakah mereka melawan ? tentu hal itu mustahil bagi pemodal yang hanya 1-5 juta mampu bersaing dengan pemilik modal hingga miliaran rupiah. lapak-lapak dan gerobak tak mampu bersaing dengan bangunan megah seperti mal, supertmarket dan pasar modern lainnya. Ibarat perlombaan lari : kura-kura dan kancil. Pasar tradisional tak mampu mengejar pasar modern. Alasanya jelas, dukungan finansial, tempat yang representatif, kenyamanan dan kebersihan, belum lagi promosi menjadi sekelumit keunggulan pasar modern itu.

Sekarang ini dengan logika pasar, invasi pasar modern telah masuk sampai kepelosok-pelosok kampung, yang setiap saat siap menerkam pasar tradisional. Pertarungan pun tidak dapat dihindarkan. Pasar tradisional harus bersiap bertarung dari himpitan pasar modern. Dilema ini terjadi karena dukungan kebijakan yang tidak memihak pada pasar tradisional. Dalam Perpres No. 112 tahun 2007 yang dijelaskan dalam pasal 5 ayat 4 disebutkan : mini market bisa beroperasi sampai ke desa-desa. Selanjutnya pada pasal 10 dijelaskan lagi : perkulakan, hypermarket, department store, supermarket dan pengelola jaringan mini market dapat menggunakan merek sendiri.

Ironisnya, mini market, departement store dan jenis pasar modern seperti itu adalah bagian dari peritel besar (pemodal besar) plus pelayanan hingga 24 jam. Tentu saja berbeda di pasar tradisional dengan hanya mengandalkan waktu-waktu tertentu, bahkan beberapa pasar tradisional di Kendari hanya beroperasi pada hari-hari tertentu. Sebuah fenomena yang timpang.

Kegelisahan

Kegelisahan yang muncul di pasar tradsional adalah, pertama, pasar modern telah menjadi batu sandungan yang setiap saat dapat mematikan eksistensi. pedagang lapak hanya mengandalkan modal kecil tidak berdaya melawan kekuatan modal besar. Kedua, belum habis kegelisahan yang lain, muncul lagi kegelisahan yang baru, adalah pengelolaan pasar tradisional yang dikuasai oleh pemerintah daerah dengan menarik iuran dan sewa yang tidak sedikit. Kegetiran lain yang muncul adalah, penggusuran pedagang dan sikap represif aparat dalam menangani para pedagang. Penggusuran dilakukan namun pemerintah tak memiliki empati seperti halnya ganti rugi dan solusi atas masalah di pasar tradisional. Sedemikian banyak kegelisahan dirasakan bagi pelaku pasar tradisional sehingga mereka terabaikan dari hak-hak sebagai manusia yang butuh perlakuan sama dalam mencari nafkah.

Tak bisa dipungkiri bahwa pasar tradisional sekarang terhimpit dengan pasar modern. Pesatnya perkembangan hypertmart, minimarket, mal dan jenis pasar modern lainnya, menjadi indikasi bahwa konsumen diarahkan untuk memilih pasar modern. Saat ini konsumen lebih memilih mal atau pasar modern untuk berbelanja daripada di pasar tradisional. Untuk anak muda dengan tingkat konsumsi yang tinggi lebih memuaskan hasrat belanja di mal daripada berbelanja di pasar tradisional.

Disadari memang, tuntutan kebutuhan masyarakat dengan gaya hidup modern sangat mempengaruhi pertumbuhan pasar modern dengan citra-citra modern ketimbang pasar tradisional yang terkesan kumuh, becek dan tidak higienis. Namun ada hal lain, Kabupaten Bantul-Yogyakarta sebagai misal, memuat peraturan daerah (perda) tentang larangan pembangunan minimarket hingga hypermarket. Alasannya sangat jelas, sebagai upaya perlindungan pasar tradisional terhadap invasi pasar modern. Selain itu, pasar-pasar tradisional di Yogyakarta kebersihan selalu terjaga. Berkunjunglah di pasar Beringharjo atau Demangan, tidak sulit menemukan tong sampah terjejer rapi.

Sudah saatnya revitalisasi pasar tradisional yang partisipatif tanpa melanggar hak-hak sebagai manusia yang butuh perlakuan sama. Pemerintah (pemerintah daerah) lemah dalam memberi perlindungan bagi pelaku di pasar tradisional, harga sewa yang terlalu mahal, perlakuan diskrimintaif (belum lagi sikap represif aparat), kebersihan tempat yang tidak terjaga dan penataan yang tidak partisipatif menjadi isu penting agar pasar tradisional memang membutuhkan revitalisasi.

Kaum lemah seperti halnya pedagang di pasar tradisional hanya memikirkan bagaimana agar asap di dapur terus mengepul, menyekolahkan anak sampai pendidikan tinggi dan bagaimana bisa terus menyambung hidup. Sangat sederhana. Logika ini yang kadang tidak diperhatikan pemerintah. Memanusiakan manusia (pedagang) sangat penting ditumbuhkan sebagai upaya membangun pasar tradisional yang lebih baik.

sumber

http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2011/03/03/pasar-tradisional-butuh-perlakuan-sama/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar