Sabtu, 18 Desember 2010

Ikut Arus Memanfaatkan Agama

Agama dan Masyarakat

Banyak kejadian yang sangat paradoks di Indonesia, siar agama begitu bergelora, ratusan ribu orang antri untuk naik haji. Para pejabat setiap hari mengucapkan kata-kata yang dikutip dari kitab agamanya masing-masing. Disisi lain, pejabat yang berasal dari partai berbasis agama justeru tertangkap karena korupsi, kejahatan semakin meningkat, tindak asusila seperti video mesum bertebaran, anak-anak gak gadis sudah tidak hirau lagi dengan kesuciannya, dan kekerasan atas nama agama semakin meraja lela. Begitu juga para pemuka agama tampil bagaikan Negara dakam Negara. Sepertinya, masyarakat dan sistem pemerintahannya mempunyai kecenderungan memanfaatkan agama untuk kepentingan diri sendiri dan kekuasaan politik, seperti yang dilakukan partai politik. Agama hanya topeng.

Kemunculan agama di dunia dimulai dari kesadaran individual akan adanya kekuatan di luar dirinya, kemudian bergeser ke kesadaran masyarakat akan pentingnya kekuataan lain untuk menciptakan keharmonisan sosial. Pertama sekali yang membutuhkan agama adalah individu karena problem keterbatasan dan psikologis. Tapi kemudian kesadaran individu itu bergeser ke kesadaran masyarakat ketika masyarakat menyadari perlunya pengaturan sosial sesama mereka. Oleh sebab itu, pada masyarakat yang sederhana (pritif) sumber agama yang mereka anut ada dilingkungan mereka seperti kayu besar, gunung, lembah, kemudian berubah ke matahari, bulan dan penunjukkan satu simbol yang ada tapi tidak ada, kemudian menunju ke agama langit.

Secara umum tesis yang dikembangkan adalah makin tinggi kebudayaan masyarakat makin abstrak posisi Tuhan. Ini tentu saja berkaitan dengan semakin meningkatnya pemikiran dan makin terjawabnya keterbatasan sebelumnya. Jika kita berpedoman pada kelahiran agama, hubungan agama dengan perkembangan kebudayaan sangat jelas dalam perkembangan teori kelahiran agama.

Perubahan Ketaatan

Fakta sosial menunjukkan bahwa ketaatan mengikut perkembangan manusia. Pada masyarakat primitif agama berdimensi psikis individual. Makin berkembangnya masyarakat makin agama menjadi institusi sosial yang berfungsi individu dan pengaturan sosial. Kita bisa lihat perkembangan agama animisme yang mengatur hubungan pribadi dengan alam, agama Shinto yang menjadikan matari sebagai Tuhan, Kong Gu Chu yang menyembaha nenek moyang yang hanya mengatur rumah tangga, agama Hindu yang mengatur stratifikasi sosial, agama Budha yang mengatur kesejahteraan sosial, kemudian masuk ke agama langit yang terkenal seperti Yahudi dan Kristen yang mengatur hubungan manusia dengan tuhan dan hubungan sesama manusia, dan agama Islam yang mengatur hubungan manusia dengan tuhan dan hubungan antara sesama manusia dengan hukum positif yang mempunyai kekuatan memaksa.

Faktor utama berkurangnnya ketaatan beragama adalah berkurangnya ketergantungan manusia pada lingkungan karena semakin terjawabnya beberapa pertanyaan diluar kemampuan rasionalitasnya. Kemandirian yang dimiliki manusia mempengaruhi ketergantungannya kepada lingkungan sosial atau masyarakat yang ada disekitarnya. Melemahnya ketergantungan sosial melahirkan sikap individualis atau minus sosial. Apalagi kompleksitas problem sosial yang muncul akibat sifat individualis tidak mampu diatasi oleh norma yang ada dari agama, karena hukum agama yang mereka anut bersifat abstrak bukan hukum positif.

Faktor lain yang mempercepat proses berkurangnya keta’atan beragama adalah digantikannya nilai-nilai agama oleh hukum positif yang dibuat oleh negara. Dengan hukum negara ini masyarakat dipastikan bisa hidup aman walaupun hukum agama tidak dipakai. Fakta ini memaksa negara-negara tersebut mempropangandakan kepastian hukum dan demokratisasi sebagai issu sentral untuk mengantikan agama dalam pengaturan sosial. Padahal sebenarnya agama-agama yang mereka anut memang dasarnya hanya untuk mengatur individu saja, sedangkan pengaturan sosial sebagai akibat dari meningkatknya kuantitas kesadaran individu dalam beragama. agama-agama di Eropah dan Amerika hanya mengajarkan dokrin nilai tanpa saksi positif di dunia maka dia tidak mampu menjawab perkembangan sosial kemasyarakatan.


sumber : http://agama.kompasiana.com/2010/09/18/ikut-arus-memanfaatkan-agama/

PELAPISAN SOSIAL DAN PERSAMAAN DERAJAT

Hati-hati Memanggil Orang Bugis dengan “Daeng”

ULAH anggota Pansus Angket Skandal Century dari Partai Demokrat Ruhut Sitompul yang memanggil Pak Jusuf Kalla dengan sebutan “Daeng” boleh jadi bermaksud baik atau sebagai penghormatan. Namun bagi orang Bugis, tidak selamanya penyebutan kata “Daeng” itu dapat diterima baik. Buktinya, beberapa anggota Pansus lain yang kebetulan berdarah Bugis seperti Faisal Akbar dan Andi Rahmat merasa tersinggung dan keberatan. Juga sekelompok mahasiswa di Makassar melakukan aksi demo mengutuk ulah Ruhut Poltak sitompul tersebut. Apa, sih, makna “Daeng” yang sesungguhnya?

Sebelum saya menguraikan masalah ini mungkin saya perlu menguraikan latarbelakang pengetahuan saya mengenai hal ini. Saya memahami sedikit karena kebetulan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat dan budaya Bugis. Saya berasal dari Bone, sama dengan Pak JK. Sedangkan Bone adalah salah satu dari tiga kerajaan utama di Sulawesi Selatan, bersama Gowa dan Luwu. Di Bone, kebetulan saya pernah menangani sanggar budaya “Saoraja” (Istana). Sedangkan di Luwu, kebetulan pula saya menikah dengan cucu Raja Luwu Andi Djemma yang pahlawan nasional itu, dan pernah menjadi sekretaris pribadi Datu (Raja) Luwu ketika mertua saya Andi Achmad Opu To Addi Luwu (almarhum) memangku jabatan sebagai Datu Luwu tahun 1994-2002.

Yang saya ketahui, masyarakat Bugis agak ketat memegang adat yang berlaku, utamanya dalam hal perlapisan sosial. Pelapisan sosial masyarakat yang tajam merupakan suatu ciri khas bagi masyarakat Bugis. Sejak masa pra Islam masyarakat Bugis mudah mengenal stratifikasi sosial. Di saat terbentuknya kerajaan dan pada saat yang sama tumbuh dan berkembang secara tajam stratifikasi sosial dalam masyarakat. Startifikasi sosial ini mengakibatkan munculnya jarak sosial antara golongan atas dengan golongan bawah.

Dalam suku Bugis jaman dulu dikenal 3 strata sosial atau kasta. Kasta tertinggi adalah Ana’ Arung (bangsawan) yang punya beberapa sub kasta lagi. Kasta berikutnya adalah To Maradeka atau orang merdeka (orang kebanyakan). Kasta terendah adalah kasta Ata atau budak. Hanya orang-orang yang berkasta Ana’ Arung dan To Maradeka yang berhak memberikan nama gelar pada keturunannya. Sementara kasta Ata tidak berhak untuk menggunakan nama gelar. Bagi bangsawan Bugis, gelarannya adalah “Andi“, sedangkan bagi To Maradeka bergelar Daeng.

Namun dalam perkembangannya, paggilan “Daeng” saat ini memiliki makna yang beragam. Bisa berarti kakak, bisa pula bermakna kelas sosial. Namun demikian penggunaannya harus berhati-hati. Apalagi saat ini, penggunaan kata Daeng untuk memanggil seseorang sering ditujukan untuk masyarakat dengan kelas sosial tertentu. Misalnya, daeng becak (penarik becak), daeng sopir pete-pete (sopir angkot), daeng kuli bangunan dan lain sebagainya.

Saya juga pernah mengalami seperti Pak JK. Suatu ketika ada seseorang yang memanggil saya dengan sebutan daeng. Saya sih tak mempersoalkan. Saya anggap itu wajar, apalagi yang memanggil itu usianya lebih muda dari saya. Tapi apa lacur, ternyata ada beberapa orang keluarga yang merasa tersinggung. Ia tidak menerima baik. Dan tanpa sepengetahuan saya, si keluarga tadi mendamprat orang tersebut, bahkan mempertanyakan asal-usulnya segala. Katanya, ia dianggap tidak pantas memanggil Daeng.

Bagi saya, hal seperti ini sebenarnya tak perlu terjadi. Namun bagi keluarga hal ini tidak bisa dibiarkan. Mereka bilang kalau tidak ingin mengikuti aturan adat gunakan saja panggilan umum, misalnya “Pak”, jangan “Daeng”. Akhirnya saya terpaksa mahfum walau hati saya sebenarnya tidak menerima dengan alasan persamaan derajat manusia. Begitulah realitanya sampai hari ini. Sebagian masyarakat Bugis masih memegang teguh adat istiadatnya termasuk berkaitan soal strata sosial ini.

Di Sulawesi Selatan, khususnya penghormatan kepada tokoh Bugis termasuk di dalamnya bangsawan biasanya dilakukan dengan menggunakan kata panggilan “Puang”, bukan “Daeng”. Ini secara umum. Jadi hati-hatilah memanggil orang Bugis dengan sebutan “Daeng”.


Solusi
Arti "Daeng" dalam kebudaayaan bugis
kota Daeng, siapa yang tidak kenal julukan ini. Julukan ini disematkan pada orang makassar.
Ibukota sulawesi selatan dan sekaligus sebagai pintu gerbang Indonesia bagian timur.
Namun saya yakin masih banyak yang belum kenal tentang makna Daeng.

Pada dasarnya dulu di makassar terdiri atas 4 strata sosial yaitu :
1. Kare : Ulama atau Tokoh Religi.
2. Karaeng : Raja atau Bangsawan.
3. Daeng : Kalangan pengusaha
4. Ata : Budak

Oleh sebab itu lebih baik kita memanggil seseorang dengan sebutan nama yang sebenarnya saja, tanpa perlu kita memanggil nama seseorang dengan sebutan atau isltilah-istilah lain yang dapat menyinggung perasaan orang lain.

Sumber
http://budayaindonesia.pekeng.com/2010/01/hati-hati-memanggil-orang-bugis-dengan.html

KEKERASAN DALAM PACARAN

Jakarta - Tidak hanya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) saja yang meningkat pada tahun 2009 lalu. Jumlah kasus kekerasan dalam pacaran pun ikut bertambah dibandingkan tahun 2008. Duh!


"Untuk kekerasan dalam pacaran tidak jauh berbeda dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Mereka hanya berbeda pada statusnya saja," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Hestu Rahmifanani.

Hal itu dikatakan dia saat menyampaikan "Catatan Akhir Tahun 2009 Perjalanan LBH Apik" di Jakarta Media Center (JMC), Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (6/1/2009).

Menurut Hestu, selama tahun 2009 kemarin, LBH Apik menerima pengaduan dan pendampingan sebanyak 1.058 kasus, meningkat 205 kasus dari tahun sebelumnya. Kasus itu terbagi menjadi KDRT (657 kasus), pasca perceraian (99 kasus), perdata (92 kasus), dan kekerasan dalam pacaran (56 kasus).

Untuk kasus kekerasan dalam pacaran, jelas Hestu, jumlahnya kembali meningkat setelah turun pada 2008, yakni 12 kasus. Bentuknya antara lain kekasih yang menghilang tanpa kabar setelah berhubungan seksual, pelaku tidak mau dimintai pertanggungjawaban atas kehamilan pasangannya, dan pihak perempuan dijadikan sebagai tumpuan ekonomi.

"Dengan meningkatnya grafik kekerasan dalam pacaran menjadi keprihatinan kita. Untuk masalah ini kita perlu penanganan serius," ucapnya.

Hestu mengatakan, KUHP tidak memberi perlindungan yang cukup untuk kasus-kasus kekerasan dalam pacaran, sebab belum ada pasal-pasal yang mengatur. Akibatnya, korban seringkali terkendala ketika ingin menyelesaikan kasus yang dialaminya melalui proses hukum.

"Korban semakin terkendala ketika kekerasan yang dilaporkan berawal dari hubungan suka sama suka. Akhirnya kasus-kasus kekerasan dalam pacaran yang ditangani LBH Apik tidak satu pun yang diproses hukum. Mereka lebih memilih dengan cara mediasi," terang Hestu.

Untuk itu, LBH Apik melihat perlunya instrumen hukum yang memberikan jaminan kepastian hukum bagi korban, yaitu dengan menginisiasi RUU Kekerasan Seksual yang saat ini telah masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010. LBH Apik juga mendorong kasus-kasus dalam kekerasan berpacaran ini untuk diakomodir dalam RUU KUHP dan RUU KUHAP yang juga telah masuk Prolegnas.

sumber: http://www.detiknews.com/read/2010/01/06/131830/1272653/10/tahun-2009-kasus-kekerasan-dalam-pacaran-meningkat

Kesimpulan:
bahwa kekerasan dalam pacaran sering terjadi karena anak tersebut tertutup dan perlakuan diskriminasi sering terjadi karena rentannya komunikasi antara keluarga, sangat disayangkan sekarang ini banyak terjadi hal demikian karena banyaknya kasus yang dilaporkan ke KPAI makanya sebagai teman,kerabat dan orang tua setidaknya komunikasi antar keluarga dibina dan diterapkan sehingga apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan baik orang tua, teman atau kerabat bisa membantu

prasangka,diskriminasi,dan etnosentrisme

1. PERBEDAAN PRASANGKA DAN DISKRIMINASI
Sikap yang negatif terhadap sesuatu, disebut prasangka. Walaupun dapat
kita garis bawahi bahwa prasangka dapat juga dalam dalam pengertian positf.
Tulisan ini lebih banyak membicarakan prasangka dalam dalam pengertian
negatif.Tidak sedikit orang-orang yang mudah berprasangka, namun banyak
juga orang-orang yang lebih sukar untuk berprasangka. Mengapa terjadi
perbedaan cukup menyolok? Tampaknya kepribadian dan intelekgensia, juga
faktor lingkungan cukup berkaitan dengan munculnya prasangka.

Akan menjadi lebih riskan lagi apabila peristiwa itu menjalar lebih luas, sehingga
melibatkan orang-orang di suatu wilayah tertentu, yang diikuti dengan tidakantindakan
kekerasan dan destruktif dengan berakibat mendatangkan kerugian
yang tidak kecil.
Contoh-contoh lain: Prasangka diskriminasi ras yang berkembang di
kawasan Afrika Selatan dan sekitarnya membuat kawasan ini selalu bergolak.
Konflik-konflik antarsuku, antar ras tak dapat dihindarkan. Lebih jauh antara
kelompok minoritas kulit putih dengan kekuasaan dan kekuatan bersenjata
yang lebih tangguh, saling baku hantam dengan kelompok mayoritas orangorang
kulit hitam. Tindak kekerasan di Afrika Selatan jelas-jelas merupakan
manifestasi dari pertentangan sosial yang berlarur-larut.


SEBAB-SEBAB TlMBULNYA PRASANGKA DAN DISKRIMINASI
(a) Berlatar belakang sejarah.
Orang-orang kuli putih di Amerika Serikat berprasangka negatif terhadap
orang-orang Negro, berlatar belakang pada sejarah masa lampau, bahwa
orang-orang kulit putih sebagai tuan dan orang-orang Negro berstatus
sebagai budak. Walaupun reputasi dan prestasi orang-orang Negro dewasa
ini cukup dapat dibanggakan, terutama dalam bidang olah raga, akan
tetapi prasangka terhadap orang-orang Negro sebagai biang keladi
kerusuhan dan keonaran belum sirna sampai dengan generasi-generasi
sekarang ini.
(b) Dilatarbelakangi oleh perkembangan sosio - kultural dan situasional.
Suatu prasangka muncul dan berkembang dari suatu individu terhadap
individu lain, atau terhadap kelompok sosial tertentu manakala terjadi
penurunan status atau terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh
pimpinan Perusahaan terhadap karyawannya.
Pada sisi lain prasangka bisa berkembang lebih jauh, sebagai akibat adanya
jurang pemisah antara kelompok orang-orang kaya dengan golongan
orang-orang miskin.
Harta kekayaan orang-orang kaya baru, diprasangkai bahwa harta-harta
itu didapat dari usaha-usaha yang tidak halal.
Antara lain dari usaha korupsi dan penyalahgunaan wewenang sebagai
pejabat dan lain sebagainya.


DAYA UPAYA UNTUK MENGURANGIIMENGHILANGKAN
PRASANGKA DAN DISKRIMINASI.
a. Perbaikan kondisi sosial ekonomi.
Pemerataan pembangunan dan usaha peningkatan pendapatan bagi
warga negara Indonesia yang masih tergolong di bawah garis
kemiskinan akan mengurangi adanya kesenjangan-kesenjangan sosial
anatar si kaya dan si miskin.
Melalui pelaksanaan program-program pembangunan yang mantap
yang didukung oleh lembaga-Iembaga ekonomi pedesaan seperti
BUUD dan KUD. Juga melalui program
Kredit Candak Kulak(KCK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP),
dan dalam sektor pertanian dengan program Intensifikasi
Khusus(Insus), Proyek Perkeb.unan Inti Rakyat(PIR), Juga Proyek
Tebu Rakyat diperkirakan golongan ekonomi lemah lambat laun akan
dapat menikmati usaha-usaha pemerintah dalam perbaikan sektor
perekonomian.

b. Perluasan kesempatan belajar.
Adanya usaha-usaha pemerintah dalam perluasan kesempatan belajar
bagi seluruh warganegara Indonesia, paling tidak dapat mengurangi
prasangka bahwa program pendidikan, terutama pendidikan tinggi
hanya dapat dinikmati oleh kalangan ma~yarakat menengah dan
kalangan atas.
Mengapa '? Untuk mencapai jenjang pendidikan tertentu di perguruan
tinggi memang mahaL disamping itu harus memiliki kemampuan
otak dan modal. Mereka akan selalu tercecar dan tersisih dalam
persaingan memperebutkan bangku sekolah. Masih beruntung bagi
mereka yang memi liki kemampuan otak. Jika dapat mencapai prestasi
tinggi dan dapat dipertahankan secara konsisten, beasiswa yang aneka
ragam itu dapat diraih dan kantongpun tidak akan kering kerontang.
Dengan memberi kesempatan luas untuk mencapai tingkat pendidikan
dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi bagi seluruh warga negara
Indonesia tanpa kecuali, prasangka dan perasaan tidak adil pada sektor
pendidikan cepat atau lambat akan hi lang lenyap.

c. Sikap terbuka dan sikap lapang.
Harus selalu kita sadari bahwa berbagai tantangan yang datang dari
luar ataupun yang datang dari dalam negeri, semuanya akan dapat
merongrong keutuhan negara dan bangsa. Kebhinekaan masyarakat
berikut sejumlah nilai yang melekat, merupakan basis empuk bagi
timbulnya prasangka, diskriminasi, dan keresahan.

2. ETNOSENTRISME
Setiap suku bangsa atau ras tertentu akan memiliki ciri khas kebudayaan,
yang sekaligus menjadi kebanggaan mereka. Suku bangsa, ras tersebut dalam
kehidupan sehari-hari bertingkah laku sejalan dengan norma-norma, nilainilai
yang terkandung dan tersirat dalam kebudayaan tersebut.
Suku bangsa, ras tersebut cenderung menganggap kebudayaan mereka
sebagai salah ssesuatu yang prima, ~iil, logis, sesuai dengan kodrat alam dan
sebaginya. Segala yang berbeda dengan kebudayaan yang mereka miliki,
dipandang sebagai sesuatu yang kurang baik, kurang estetis, bertentangan
dengan kodrat alam dan sebagainya. Hal-hal tersebut di atas dikenal sebagai
ETNOSENTRISME, yaitu suatu kecendrungan yang menganggap nilai-nilai
dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai suatu yang prima, terbaik,
mutlak, dan dipergunakannya sebagai tolak ukur untuk menilai dan
membedakannya dengan kebudayaan lain.