Kamis, 17 Maret 2011

Manusia Gua Melinting Harapan

Manusia dan Harapan

Gua itu hanya berukuran 3 x 3 m. Terlihat benderang dari luar, tapi di dalamnya gelap. Gelap bukan karena tidak ada lampu, tapi terkesan remang karena efek dari penghuninya. Tidak seperti gua-gua magis yang sering dijadikan objek fotografi, gua ini tidak artistik sama sekali. Isinya bisa membuat pengunjung betah berlama-lama di situ. Televisi. Internet. Konsol game. Buku. Apapun yang menjadi kebutuhan laki-laki muda tanpa kehidupan.

Penghuninya –sebut saja Mangu- pun menikmati status resmi sebagai manusia gua. Dia merasa tidak perlu keluar dari gua. “Untuk apa? Saya bisa melihat seluruh dunia dari sini”, ujarnya pada diri sendiri. Ya, Mangu memang suka bertualang. Dia suka jalan-jalan sampai Bali, Thailand, Australia, Italia, Spanyol. Bahkan dia bisa menembus dimensi waktu! Dia bisa sampai di 5 tahun yang lalu, atau tiba-tiba berada di Norwegia 15 tahun ke depan. Mangu pun punya tiket terusan yang harganya sangat-sangat terjangkau. Tiketnya bernama ‘harapan’. Bila ingin berangkat, dia tinggal melinting harapan. Kemudian dihisap, dibatuki, ditertawakan. Lalu dihisap lagi sampai matanya merah dan perih hingga dia tidak sanggup melakukan apa pun kecuali duduk termangu. Saat dirasa cukup, dia langsung memulai perjalanannya. Petualangan penuh harapan; reparasi masa lalu dan penyempurna masa depan. Bila sudah lelah, Mangu akan tertidur, dan terbangun. Lalu kembali melinting harapan.

*****

Walaupun portofolio traveling Mangu sudah mumpuni, pemuda ini memiliki tempat-tempat favorit yang sering dikunjunginya. Misalnya di masa depan, dia sering berkunjung ke suatu negeri dingin yang bersalju, di mana dia menikmati sisa hidupnya sebagai seorang bapak bijak dengan 3 anak inspiratif dan istri cantik. Di sini dia membuat naskah yang indah;

Pada suatu sore yang mendung, Mangu duduk termangu di depan jendela rumahnya. Menikmati pemandangan Oslo di akhir tahun sambil sesekali menyeruput kopi susu panas. Di samping sofanya yang ekstra nyaman, terlihat meja yang dengan gagah menopang berbagai macam bukti otentik prestasi seseorang. Piala, piagam, sertifikat, artikel dalam pigura, dll. Di situ, tidurlah sebuah buku tebal. Sepertinya novel. Di cover-nya terpampang “No.1 Best-Seller” di samping nama lengkap Mangu, di bawah tulisan besar; “Sesal Si Pengkhayal”. Novel ini merupakan kunci dari semua pintu yang telah dibuka Mangu. Tanpanya, dia bukan dia yang sekarang.

Di tengah lamunan damai, istrinya memanggil dengan lembut. Katanya anak-anak sudah lama tidak ke Swedia, mereka ingin berlibur. Mangu hanya tersenyum sambil mengiyakan dan kembali mengesup isi cangkirnya. “Aku ngga pernah nyangka kalau kita akan punya kehidupan ini. Seperti mimpi”, ujar Mangu dengan mata menyapu pemandangan depan rumahnya. “Tidak percuma selama ini aku memiliki banyak mimpi. Semua itu terbayar dengan kenyataan yang lebih indah. Dan mungkin suatu hari…”. Narasinya terpotong.

Istrinya bertutur dingin.

“Harapan kamu sudah hampir habis”.

“Ha?”.

“Ngu.. Ngu… Keluar yuk, cari kopi susu”.

*****

5 tahun yang lalu adalah titik kehancuran seorang Mangu. Saat SMA, hati Mangu hancur lebur kedinginan seperti kapal Titanic. Pacarnya meninggalkan Mangu dengan alasan beda agama padahal dia jatuh hati dengan pria lain. Klise. Tapi destruktif. Dia membencinya setengah mati. Lebih tepatnya, dia membenci pertemuannya dengan wanita itu. Dia berharap bisa menghapus memorinya seperti pesulap menghilangkan kelinci. Dia menyesal, telah membangun khayalan indah bersamanya di masa depan. Setiap kali dia berkelana ke masa lalu, dia selalu tanpa sengaja tersesat ke sini. Tapi dengan sigap, dia mengubah tempat ini menjadi surga;

Mangu adalah anak SMA yang sempurna. Sempurna dalam definisi kamus ABG. Dia memiliki apa pun yang dapat memenuhi fantasi perempuan dan segala yang pria inginkan. Dengan mudah dia bisa mengajak perempuan terbang bersama permadaninya sekaligus menghempaskannya ke tanah. Dia sangat menikmati ‘karir’-nya ini. Dia merasa hidup. Dia di atas angin. Dia disukai teman-temannya dan dicintai banyak perempuan. Hampir tiap malam ponselnya berdering dengan nama-nama cantik di layar; Bianca, Marsha, Lana, Anita, dan sebagainya. Semua berusaha tapi tak semuanya beruntung. Andaikan ada satu yang berhasil, itu pun bertahan paling lama 1 minggu. Mangu tidak membutuhkan komitmen. Dia tidak perlu menerima risiko akan kekecewaan.

“Kamu… cantik banget”, katanya pada seorang perempuan yang dari tadi salah tingkah. Seperti biasa, Mangu sedang melobi perempuan cantik untuk kepuasan personal. “Aku selalu berkhayal bisa ketemu cewek kayak kamu. Kamu… adalah dongeng paling nyata. Mungkin suatu hari…”. Narasinya terpotong.

Perempuan itu bertutur dingin.

“Ngarep aja lo…”.

“Ha?”

“Ngu… Ngu… Hape lu bunyi tuh”.

Mangu melihat nama di atas ponselnya, ‘MAMA’.

*****

Mangu lagi-lagi termangu. Kali ini bukan di Oslo, tapi di gua kesayangannya. Dan pemandangan di depannya bukan halaman bersalju, tapi halaman kosong. Microsoft Word 2003. Putih polos. Dia hanya duduk mengamati. Beberapa kali tangannya hampir menyentuh keyboard. Untuk ke sekian kali, dia membatalkan gerakan jemarinya. Setelah hampir 2 jam, terjadi sedikit perubahan dalam dirinya.

“Saatnya menghancurkan mesin waktu”.

Dengan lincah, jarinya melompat-lompat gembira di atas keyboard. Wajahnya tampak serius memperhatikan layar. Kaki kanannya tidak berhenti bergerak naik-turun.

Setelah terhenti beberapa saat, dia berdiri dari kursi usangnya. Menghela nafas. Bergerak ke arah lemari. Mengambil sesuatu. Kemudian duduk di lantai. Manusia gua kembali melinting harapan. Menghisap, membatuki, menertawakannya. Lalu menghisap lagi sampai matanya merah dan perih.

Dia hampir lupa dengan apa yang ditorehkannya tadi. Layar komputernya meredup untuk memberi sinyal kalau dia akan memasuki tidurnya. Beberapa detik sebelum gelap total, terbaca sedikit tulisan. Halaman kosong itu sudah terisi dengan satu kalimat tak lengkap, “Sesal Si Pengkhayal”.

Sumber

http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2010/12/09/manusia-gua-melinting-harapan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar