Sabtu, 18 Desember 2010

PEMUDA DAN SOSIAL

KEKERASAN DIDUNIA PENDIDIKAN
Masih teringat di benak kita bahwa dalam kasus yang sering diekspose ke public oleh beberapa media massa tentang kekerasan yang dilakukan oleh pemuda yang berprofesi sebagai di STPDN di saat Orientasi Pengenalan Kampus merupakan salah satu kesalahan yang fatal di lingkungan akademisi kampus tersebut. Kenapa tidak? Mahasiswa yang harusnya menjadi agent 0f intellectual, serta agent of change perubahan negeri ini malah memberikan contoh yang tidak baik.
KEKERASAN tampaknya sudah semakin akrab dengan dunia mahasiswa kita. Selain kematian Wahyu Hidayat, mahasiswa STPDN, kekerasan juga sering terjadi dalam tawuran antarmahasiswa, baik berbeda perguruan tinggi maupun sesama mahasiswa pada perguruan tinggi yang sama.
APA yang sebenarnya terjadi pada mahasiswa kita? Kriminolog dari Universitas Indonesia Erlangga Masdiana menyatakan, kekerasan dalam dunia kemahasiswaan sebenarnya tidak hanya terjadi akhir-akhir ini. Dari dulu, katanya, kekerasan hampir selalu mewarnai kegiatan perpeloncoan. Tak jarang perpeloncoan mengakibatkan mahasiswa sakit atau meninggal.
Akan tetapi, kekerasan dalam perpeloncoan itu jarang terekspos ke masyarakat luas. Sebab, pers dan aparat kepolisian waktu itu sangat sulit masuk ke kampus untuk urusan intern.
Sekarang, zaman telah berubah. Pers begitu banyak dan akses ke sumber-sumber berita begitu mudah. Dengan demikian, kejadian kecil saja di dalam kampus bisa terekspos.
Di pihak lain, masyarakat sekarang juga begitu kritis. Sesuatu yang menyimpang dari kewajaran begitu menarik perhatian. Begitu pun dengan kekerasan yang terjadi pada mahasiswa.
Masyarakat awam membayangkan mahasiswa sebagai intelektual calon pewaris bangsa mestinya mempunyai pola pikir dan pola tindak yang intelektual. Dalam menyelesaikan persoalan, tidak sewajarnya mereka menggunakan kekerasan dan kekuatan fisik. Maka, mereka sangat sulit memahami kenapa mahasiswa kita lebih senang tawuran atau bahkan menggunakan kekerasan fisik untuk yuniornya.
Seperti halnya perilaku menyimpang lainnya, kekerasan di dunia kampus sebenarnya bisa dilakukan oleh mahasiswa sebagai individu atau kelompok. Menurut Erlangga, di kampus selalu saja ada individu-individu yang mempunyai kecenderungan berperilaku menyimpang.
Dalam keseharian, individu- individu menyimpang itu mungkin tidak berpengaruh pada kelompok mahasiswa keseluruhan. Akan tetapi, jika ada kesempatan, individu-individu menyimpang itu bergabung dalam satu kelompok, meskipun jumlahnya tidak besar, perilaku mereka bisa mengganggu kehidupan kampus. Apalagi jika mereka mendapat peluang untuk "berkuasa".
Dalam perkembangannya, tawuran pelajar itu kemudian menjadi modus baru kejahatan di Jakarta maupun di kota-kota lain. Mereka naik bus dengan berpura-pura mencari lawannya, tetapi tak jarang mereka melakukan tindak kejahatan, baik terhadap penumpang maupun awak bus. Tidak jarang awak bus dipaksa terus melaju, sementara segerombolan remaja berpakaian seragam merampasi harta benda milik para penumpang.
Seperti efek domino, tawuran pelajar yang semula hanya melibatkan sebagian kecil sekolah di Jakarta kemudian meluas. Sebab, menurut Erlangga, tawuran tidak lagi antarsekolah kemudian berkembang menjadi antarbasis, yaitu pelajar yang naik bus nomor tertentu melawan pelajar lain yang naik bus dengan nomor lain. Selain itu, ada kecenderungan baru mengajak serta siswa dari sekolah lain untuk bergabung melawan siswa dari sekolah yang dianggap sebagai lawannya.
Mereka yang biasa tawuran itulah yang kini menjadi mahasiswa, baik yunior maupun seniornya. Itu masih ditambah dengan dunia pergerakan kampus yang kerap turun ke jalan atas nama reformasi yang dalam aksinya juga sering memancing kekerasan.
MENGAITKAN begitu saja kebiasaan tawuran di kalangan pelajar dengan kekerasan di lingkungan kampus-khususnya masa orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek)- kata Erlangga sebenarnya tidaklah mudah. Akan tetapi, bahwa mereka dibesarkan dalam subkultur delinquency (kenakalan anak-anak) itu pada akhirnya memunculkan nilai- nilai sendiri yang bisa jadi berbeda dengan norma yang ada sebelumnya. Salah satunya adalah nilai tentang kekerasan yang sebenarnya merupakan penyimpangan itu, kemudian dianggap lazim. Budaya kekerasan lalu menonjol.
Dalam jumlah, mereka yang berperilaku menyimpang sebenarnya tidak banyak. Akan tetapi, soalnya, dalam tata pergaulan, dalam suatu kelompok, nilai-nilai pribadi yang baik itu akan sangat mudah terkooptasi. Tak heran kalau kemudian seorang mahasiswa yang di rumah begitu manis perilakunya tiba- tiba berubah keras dan ganas ketika berada di dalam kelompok yang sudah terkooptasi kekerasan itu.
"Jati diri bisa hilang. Yang ada adalah identitas kelompok," kata Erlangga. Identitas kelompok itu bisa sangat terasa dalam perkelahian antarmahasiswa yang berbeda perguruan tinggi, berbeda fakultas maupun lokasi kampus, atau berbeda angkatan.
Berkaitan dengan kekerasan yang timbul sebagai ekses ospek dan sejenisnya, Erlangga melihat kenyataan bahwa kampus selalu cenderung menjadi ajang perebutan "kekuasaan" dari individu-individu di dalamnya. Tujuannya, untuk menaikkan posisi tawar dalam dinamika kehidupan kampus yang pada akhirnya juga menaikkan posisi tawarnya di masyarakat nantinya.
Ospek atau perpeloncoan adalah ajang paling mudah untuk menanamkan pengaruh dari senior ke yuniornya. Persoalannya, tidak jarang upaya menanamkan pengaruh itu dilakukan dengan cara-cara kekerasan yang tak terkontrol. Kekerasan tak terkontrol biasa terjadi jika ada yunior yang dianggap melawan atau menentang kehendaknya.
Sayangnya, budaya kekerasan yang sebenarnya menyimpang itu justru sering dianggap benar dan bahkan menjadi tradisi yang harus dipertahankan atau diwariskan kepada yuniornya. Itulah sebabnya, kekerasan dalam masa ospek seolah terus berulang.
Penyelenggaraan ospek yang dalam banyak kampus belum juga berubah dari pola lama yang tak ubahnya sebagai perpeloncoan itu pada akhirnya menyuburkan budaya kekerasan yang "secara alami" sudah biasa melingkupi para mahasiswa sejak masih SMU atau bahkan SLTP. Meski sebagian besar mahasiswa tidak terlibat dalam tawuran semasa SMU, budaya kekerasan bisa saja menjadi dominan ketika mereka sudah berbaur dalam satu kelompok atas nama senioritas.
UNTUK menghentikan tindakan kekerasan selama masa ospek yang sebenarnya sudah tidak relevan lagi dilakukan, menurut Erlangga, hanya bisa dilakukan dengan cara tidak memberi peluang kepada mereka yang mempunyai perilaku menyimpang itu untuk menunjukkan "kekuasaannya".
Artinya, penyelenggaraan ospek harus menjadi tanggung jawab seluruh sivitas akademika. Materi yang diberikan kepada para yunior pun harus sesuatu yang dapat membangun kehidupan kampus sebagai institusi yang melahirkan pemikiran, konsep, dan ilmu pengetahuan maupun teknologi.
Segala bentuk kegiatan yang hanya mengandalkan fisik harus dilarang dan diganti dengan kegiatan untuk memperkenalkan tradisi-tradisi ilmiah di dalam kampus. Untuk membangun hubungan lebih akrab antarsivitas akademika, diperlukan berbagai kegiatan yang sifatnya fun dan menyenangkan tanpa harus memberikan sanksi-sanksi yang hanya untuk memuaskan seniornya.
Membangun disiplin dengan cara-cara militer seperti banyak dilakukan selama ini sudah saatnya dihentikan dan diganti dengan memberikan sanksi yang mendidik kepada yunior yang melanggar aturan main yang telah disepakati sebelumnya.
Untuk itu, penyelenggaraan ospek tidak bisa lagi diserahkan begitu saja kepada mahasiswa (senior). Pemimpin universitas juga harus terlibat di dalamnya dan bertanggung jawab terhadap semua persoalan yang muncul akibat ospek.
Pemimpin universitas harus menegaskan bahwa penggunaan kekerasan fisik sungguh- sungguh dilarang. Pelanggaran terhadap larangan itu harus secara serius ditangani dengan sanksi yang keras.
Untuk keperluan pemberian sanksi tersebut, pemimpin universitas juga tidak boleh menutup diri terhadap aparat kepolisian sebagai penegak hukum. Jika ada pelanggaran yang bisa dikategorikan sebagai perbuatan kriminal, pemimpin universitas harus bisa bekerja sama dengan polisi untuk menangani pelakunya.
Tidak mudah memang mengubah tradisi yang sudah bertahun-tahun eksis. Akan tetapi, upaya ke arah sana harus secara serius dilakukan lewat sosialisasi dan pendekatan kepada mahasiswa. Sebab, dalam kenyataannya, sudah banyak universitas berhasil mengembangkan ospek menjadi sebuah kegiatan yang benar-benar menunjang kehidupan kampus tanpa harus diwarnai kekerasan.
Departemen Pendidikan Nasional lewat Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) seharusnya tidak tinggal diam menyaksikan jatuhnya korban-korban kekerasan selama masa ospek. Dikti bahkan harus membuat standardisasi kegiatan ospek agar tidak lagi menyimpang. Ospek yang selama ini lebih bersifat ritual inisiasi seorang mahasiswa baru harus dirombak menjadi kegiatan yang melahirkan mahasiswa dengan pemikiran yang futuristic.
sumber : http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:-DHemgwoYicJ:one.indoskripsi.com/node/75+contoh+kasus+pemuda+dan+sosialisasi&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar